Hermanto Harun*
Nuansa bulan Rajab, tepatnya setiap tanggal 27, selalu ceria dengan semarak perayaan Isra’ dan Mi’raj. Perayaan peristiwa Isra’ Mi’raj dalam penanggalan umat Islam, seolah telah menjadi agenda rutin tahunan yang tidak boleh absen. Keberadaan peringatan hari bersejarah tersebut telah menjadi ikon budaya Islam nusantara yang telah memiliki hak “paten” dalam paradigma muslim tradisional di tanah air. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat setiap apapun yang terjadi pada diri Rasul menjadi rumus referensi hidup dalam berperilaku kaum muslimin. Juga, dalam perjalanan nabi Muhammad SAW, yang diperjalankan (asra) oleh Allah dalam peristiwa itu, menyimpan banyak tauladan dan ibrah bagi umatnya.
Disamping itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang telah menyejarah tersebut, sempat menggemparkan jagad raya dan menjadi isu lelucon, karena dianggap tidak rasional dalam dunia ‘sains’ saat itu. Sehingga, dengan ketidakmampuan jangkauan tehnologi manusia ketika itu, Allah SWT mengabadikan peristiwa Isra’ dan Mi’raj dalam kitab suci-Nya, dan memulai catatan legenda sejarah tersebut dengan kalimat tasbih subhana (QS: al-Isra’; 1). Ini menunjukkan, bahwa segala ketidakmungkinan yang dipersepsikan oleh manusia, tidak berlaku bagi Sang Maha Kuasa. Kalimat ”maha suci Allah” yang menjadi pembuka dalam ayat Isra’ tersebut, menurut Syawqi Dhaif dalam bukunya al-Wajiz fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim, merupakan prolog dari sebuah urain berikutnya tentang kejadian yang sangat menakjubkan (‘ajib). Ini pertanda bahwa penegasian kemampuan selain Allah SWT dalam merealisasikan mu’jizat itu, sekaligus jawaban mutlak bagi mereka yang meragukan kejadian maha ajaib tersebut. Hal ini tersirat dalam tafsir kalimat subhana, yang dalam karya Imam al-Suyuthy ‘al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur’ berarti al-tanzih, yaitu pensucian Allah yang telah memperjalankan seorang hambanya dari masjid al-Haram di Makkah menuju masjid al-Aqsa di Palestina.
Sudah jamak diketahui, bahwa kisah Isra’ ialah perjalanan Rasul dari masjid al-Haram di Makkah ke masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj ialah naiknya Rasul SAW menuju lapisan langit tertinggi hingga batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, baik manusia, jin bahkan malaikat sekalipun. Semua perjalanan itu ditempuh dalam masa hanya dalam semalam. Ada beberapa pendapat mengenai sejarah tepat terjadinya mu’jizat agung ini. Apakah pada tahun kesepuluh ke-nabian ataukah sesudahnya? Menurut riwayat Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum hijrah.
Namun Seorang ulama hadist abad ke tujuh, Abu al-khitab Umar bin Dahyan, dalam kitabnya ’Ada’ Ma Wajaba Fi Bayan Wadl’i al-Wadldla’ain Fi Syahri Rajab” mengatakan bahwa terjadinya peristiwa Isra’ pada Rajab adalah dusta. Pendapat ini diamini oleh Ibn Hajar ’Asalany, seorang ulama yang menulis syarh (penjelasan) Sohih al-Bukhari. Menurut alQaradawi, tidak ada satu hadist sahih-pun yang menjelaskan bahwa Isra Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini hanya masyhur dikalngan umat, yang dinisbatkan kepada Imam Nawawi dalam fatwanya. Sedangkan Ibn Ishaq al-Harby berpendapat, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al- Awwal.
Kejadian maha dahsyat yang dilakoni Rasul dalam poeristiwa Isra’ dan Mi’raj seperti ulasan di atas, merupakan kajadian pertama dan terakhir dalam sejarah manusia. Bahkan, Rev George Bush dalam bukunnya The Life of Muhammad; Founder of The Religion of Islamic And of The Empire of The Saracens mengungkapkan dengan penuh kekaguman, bahwa peristiwa pada malam itu merupakan kejadian yang tidak akan pernah dialami oleh siapapun, dan peristiwa yang paling besar dan paling agung (ijaz) semenjak Allah SWT menciptakan nabi Adam. Catatan peristiwa bersejarah ini juga tidak akan ada tandingannya dalam semua kitab suci terdahulu, dan tidak ada bandingannya dengan apapun yang hadapi oleh manusia.
Dari itu, kiranya sangat wajar ketika peristiwa Isra’ Mi’raj dijadikan momentum dalam mengurai sirah Rasul. Juga sangat laik untuk menjadikannya sebagai nuansa untuk merajut kembali serakan rasa cinta kepada sang tauladan bagi seluruh manusia. Karena, rekaman jejak kehidupan Rasul dalam segala dimensinya adalah ”format” Tuhan yang pasti merupakan contoh terbaik bagi makhluk sejagad. Berangkat dari argumentasi ini, agaknya ’ritual’ perayaan Isra’ dan Mi’raj dapat menabur sejuta makna dan hikmah yang tidak lagi perlu diperdebatkan.
Namun, momen Isra’ dan Mi’raj tahun ini agaknya berbalut murung. Gempita perayaan yang penuh pujian kepada sang Nabi di bumi yang dihuni mayoritas muslim tersebut, seolah terkontaminasi oleh goncangan serangan bom Jumat pagi (17 Juli 2009 sekitar pukul 07.45 WIB) di pusat ibu kota negara. Hari naas itu kembali mencoreng nama negeri yang didiami oleh populasi muslim terbesar di dunia. Mata dunia terbelalak, sambil mereview kebali rekaman kejadian masa silam yang belum lagi pupus dalam ingatan publik internasional. Kejadian memilukan itu, seolah menegaskan, bahwa tuduhan teroris yang selalu identik dengan muslim, menjadi tak terbantahkan. Apalagi sasaran peledakan dianggap sebagai ikon Amerika Serikat (AS), seperti Hotel Ritz Carlton dan JWMarriott.
Peledakan bom yang tak tanggung-tanggung tersebut, kembali membangkitkan asumsi akan keterlibatan gerakan Islam, terutama ’puak’ gerakan yang selalu dicurigai menganut faham radikal. Walau sampai saat ini, masih belum jelas orientasi dan siapa sebenarnya pelaku teror itu. Akan tetapi, telunjuk phobianis Islam seolah telah yakin akan andil gerakan Islam dalam peledakan teror tersebut. Paling tidak, sampai kasus ini terungkap dengan bukti-bukti kuat, gerakan Islam akan selalu menjadi ’bulan-bulanan’ media yang sepaham dengan firqah anti Islam. Kenyataan ini telah menjadi kebiasaan mereka, dimana setiap kejadian teror, peledakan bom dan semua yang bercirikan perilaku teroris, sulit untuk meluputkan keterlibatan embel-embel yang berkaitan dengan Islam. Sehingga, seorang penulis Mesir, Fahmy Howeidy, pernah menulis sebuah kolom; Mufaja,ah, Irhaby Laista Musliman (mengagetkan, seorang teroris bukan muslim). Tulisan Fahmy itu tertuang dalam gumamnya, ketika seorang kristian Amerika berkulit putih, James von Brunn, melakukan serangan teror terhadap Holocaust Memorial Museum, Washington, AS, Rabu (10/6) dan menembak mati penjaga musium, Stephen Tyrone Johns.
Von Brunn, teroris kristian tersebut, telah menulis buku mengenai Holocaust, Adolph Hitler, dan pandangannya mengenai keunggulan orang kulit putih termasuk "Tob Shebbe Goyim Harog", dia seorang rasialis yang sangat membenci Yahudi dan anti kulit hitam. Namun anehnya, perilaku bejad Von Runn itu tidak sama sekali dikaitkan dengan agama yang diyakininya, bahkan pihak polisi hanya beralibi, bahwa pelaku sebagai seorang yang sedang dalam kondisi buruk.
Bagaimanapun, perilaku teror bom yang mengundang ketakutan, apalagi sampai membunuh manusia tidak bersalah, seperti yang terjadi di Jakarta itu jelas tidak seirama dengan pesan-pesan yang ada dalam Isra’ Mi’raj. Karena, menurut Ramadhan al-Buthy, diantara hikmah Isra’ Mi’raj adalah adanya ikatan persaudaraan yang kuat antara seluruh anbiya yang menjadi panutan semua umat manusia. Juga, dari sisi Islam, ketika Rasul dihadapkan dua pilihan minuman, antara khamar atau susu, dan menjatuhkan pilihannya kepada minuman susu, saat beliau dalam Masjid al-Aqsa sebelum Mi’raj, maka, pilahan Rasul tersebut merupakan bukti formalistik, bahwa agama Islam adalah agama yang selalu bersenyawa dengan fitrah manusia. Artinya, segala hal yang bertentangan dengan perilaku amoral, kontras dengan nurani, berarti sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Itulah ajaran Islam, yang selalu berorientasi kemanusiaan, sesuai dengan misi kerasulan Muhammad SAW yang dimandatkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Jadi, walau suasana perayaan Isra’ Mi’raj di bumi nusantara tahun ini penuh nestapa, namun taburan semai nilai kemanusiaan tidak boleh luntur dari nurani umatnya. Dan, jika pelaku terom bom itu kebetulan muslim, itu jelas bukan salah Islam. Wallahu’alam.
*Peneliti Ta’dib Community Forum, Malaysia. Mahasiswa Program Doktor, National University of Malaysia
Nuansa bulan Rajab, tepatnya setiap tanggal 27, selalu ceria dengan semarak perayaan Isra’ dan Mi’raj. Perayaan peristiwa Isra’ Mi’raj dalam penanggalan umat Islam, seolah telah menjadi agenda rutin tahunan yang tidak boleh absen. Keberadaan peringatan hari bersejarah tersebut telah menjadi ikon budaya Islam nusantara yang telah memiliki hak “paten” dalam paradigma muslim tradisional di tanah air. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat setiap apapun yang terjadi pada diri Rasul menjadi rumus referensi hidup dalam berperilaku kaum muslimin. Juga, dalam perjalanan nabi Muhammad SAW, yang diperjalankan (asra) oleh Allah dalam peristiwa itu, menyimpan banyak tauladan dan ibrah bagi umatnya.
Disamping itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang telah menyejarah tersebut, sempat menggemparkan jagad raya dan menjadi isu lelucon, karena dianggap tidak rasional dalam dunia ‘sains’ saat itu. Sehingga, dengan ketidakmampuan jangkauan tehnologi manusia ketika itu, Allah SWT mengabadikan peristiwa Isra’ dan Mi’raj dalam kitab suci-Nya, dan memulai catatan legenda sejarah tersebut dengan kalimat tasbih subhana (QS: al-Isra’; 1). Ini menunjukkan, bahwa segala ketidakmungkinan yang dipersepsikan oleh manusia, tidak berlaku bagi Sang Maha Kuasa. Kalimat ”maha suci Allah” yang menjadi pembuka dalam ayat Isra’ tersebut, menurut Syawqi Dhaif dalam bukunya al-Wajiz fi al-Tafsir al-Qur’an al-Karim, merupakan prolog dari sebuah urain berikutnya tentang kejadian yang sangat menakjubkan (‘ajib). Ini pertanda bahwa penegasian kemampuan selain Allah SWT dalam merealisasikan mu’jizat itu, sekaligus jawaban mutlak bagi mereka yang meragukan kejadian maha ajaib tersebut. Hal ini tersirat dalam tafsir kalimat subhana, yang dalam karya Imam al-Suyuthy ‘al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur’ berarti al-tanzih, yaitu pensucian Allah yang telah memperjalankan seorang hambanya dari masjid al-Haram di Makkah menuju masjid al-Aqsa di Palestina.
Sudah jamak diketahui, bahwa kisah Isra’ ialah perjalanan Rasul dari masjid al-Haram di Makkah ke masjid al-Aqsha di al-Quds, Palestina. Sedangkan Mi’raj ialah naiknya Rasul SAW menuju lapisan langit tertinggi hingga batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, baik manusia, jin bahkan malaikat sekalipun. Semua perjalanan itu ditempuh dalam masa hanya dalam semalam. Ada beberapa pendapat mengenai sejarah tepat terjadinya mu’jizat agung ini. Apakah pada tahun kesepuluh ke-nabian ataukah sesudahnya? Menurut riwayat Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya, peristiwa ini terjadi delapan belas bulan sebelum hijrah.
Namun Seorang ulama hadist abad ke tujuh, Abu al-khitab Umar bin Dahyan, dalam kitabnya ’Ada’ Ma Wajaba Fi Bayan Wadl’i al-Wadldla’ain Fi Syahri Rajab” mengatakan bahwa terjadinya peristiwa Isra’ pada Rajab adalah dusta. Pendapat ini diamini oleh Ibn Hajar ’Asalany, seorang ulama yang menulis syarh (penjelasan) Sohih al-Bukhari. Menurut alQaradawi, tidak ada satu hadist sahih-pun yang menjelaskan bahwa Isra Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini hanya masyhur dikalngan umat, yang dinisbatkan kepada Imam Nawawi dalam fatwanya. Sedangkan Ibn Ishaq al-Harby berpendapat, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rabi al- Awwal.
Kejadian maha dahsyat yang dilakoni Rasul dalam poeristiwa Isra’ dan Mi’raj seperti ulasan di atas, merupakan kajadian pertama dan terakhir dalam sejarah manusia. Bahkan, Rev George Bush dalam bukunnya The Life of Muhammad; Founder of The Religion of Islamic And of The Empire of The Saracens mengungkapkan dengan penuh kekaguman, bahwa peristiwa pada malam itu merupakan kejadian yang tidak akan pernah dialami oleh siapapun, dan peristiwa yang paling besar dan paling agung (ijaz) semenjak Allah SWT menciptakan nabi Adam. Catatan peristiwa bersejarah ini juga tidak akan ada tandingannya dalam semua kitab suci terdahulu, dan tidak ada bandingannya dengan apapun yang hadapi oleh manusia.
Dari itu, kiranya sangat wajar ketika peristiwa Isra’ Mi’raj dijadikan momentum dalam mengurai sirah Rasul. Juga sangat laik untuk menjadikannya sebagai nuansa untuk merajut kembali serakan rasa cinta kepada sang tauladan bagi seluruh manusia. Karena, rekaman jejak kehidupan Rasul dalam segala dimensinya adalah ”format” Tuhan yang pasti merupakan contoh terbaik bagi makhluk sejagad. Berangkat dari argumentasi ini, agaknya ’ritual’ perayaan Isra’ dan Mi’raj dapat menabur sejuta makna dan hikmah yang tidak lagi perlu diperdebatkan.
Namun, momen Isra’ dan Mi’raj tahun ini agaknya berbalut murung. Gempita perayaan yang penuh pujian kepada sang Nabi di bumi yang dihuni mayoritas muslim tersebut, seolah terkontaminasi oleh goncangan serangan bom Jumat pagi (17 Juli 2009 sekitar pukul 07.45 WIB) di pusat ibu kota negara. Hari naas itu kembali mencoreng nama negeri yang didiami oleh populasi muslim terbesar di dunia. Mata dunia terbelalak, sambil mereview kebali rekaman kejadian masa silam yang belum lagi pupus dalam ingatan publik internasional. Kejadian memilukan itu, seolah menegaskan, bahwa tuduhan teroris yang selalu identik dengan muslim, menjadi tak terbantahkan. Apalagi sasaran peledakan dianggap sebagai ikon Amerika Serikat (AS), seperti Hotel Ritz Carlton dan JWMarriott.
Peledakan bom yang tak tanggung-tanggung tersebut, kembali membangkitkan asumsi akan keterlibatan gerakan Islam, terutama ’puak’ gerakan yang selalu dicurigai menganut faham radikal. Walau sampai saat ini, masih belum jelas orientasi dan siapa sebenarnya pelaku teror itu. Akan tetapi, telunjuk phobianis Islam seolah telah yakin akan andil gerakan Islam dalam peledakan teror tersebut. Paling tidak, sampai kasus ini terungkap dengan bukti-bukti kuat, gerakan Islam akan selalu menjadi ’bulan-bulanan’ media yang sepaham dengan firqah anti Islam. Kenyataan ini telah menjadi kebiasaan mereka, dimana setiap kejadian teror, peledakan bom dan semua yang bercirikan perilaku teroris, sulit untuk meluputkan keterlibatan embel-embel yang berkaitan dengan Islam. Sehingga, seorang penulis Mesir, Fahmy Howeidy, pernah menulis sebuah kolom; Mufaja,ah, Irhaby Laista Musliman (mengagetkan, seorang teroris bukan muslim). Tulisan Fahmy itu tertuang dalam gumamnya, ketika seorang kristian Amerika berkulit putih, James von Brunn, melakukan serangan teror terhadap Holocaust Memorial Museum, Washington, AS, Rabu (10/6) dan menembak mati penjaga musium, Stephen Tyrone Johns.
Von Brunn, teroris kristian tersebut, telah menulis buku mengenai Holocaust, Adolph Hitler, dan pandangannya mengenai keunggulan orang kulit putih termasuk "Tob Shebbe Goyim Harog", dia seorang rasialis yang sangat membenci Yahudi dan anti kulit hitam. Namun anehnya, perilaku bejad Von Runn itu tidak sama sekali dikaitkan dengan agama yang diyakininya, bahkan pihak polisi hanya beralibi, bahwa pelaku sebagai seorang yang sedang dalam kondisi buruk.
Bagaimanapun, perilaku teror bom yang mengundang ketakutan, apalagi sampai membunuh manusia tidak bersalah, seperti yang terjadi di Jakarta itu jelas tidak seirama dengan pesan-pesan yang ada dalam Isra’ Mi’raj. Karena, menurut Ramadhan al-Buthy, diantara hikmah Isra’ Mi’raj adalah adanya ikatan persaudaraan yang kuat antara seluruh anbiya yang menjadi panutan semua umat manusia. Juga, dari sisi Islam, ketika Rasul dihadapkan dua pilihan minuman, antara khamar atau susu, dan menjatuhkan pilihannya kepada minuman susu, saat beliau dalam Masjid al-Aqsa sebelum Mi’raj, maka, pilahan Rasul tersebut merupakan bukti formalistik, bahwa agama Islam adalah agama yang selalu bersenyawa dengan fitrah manusia. Artinya, segala hal yang bertentangan dengan perilaku amoral, kontras dengan nurani, berarti sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Itulah ajaran Islam, yang selalu berorientasi kemanusiaan, sesuai dengan misi kerasulan Muhammad SAW yang dimandatkan sebagai rahmat bagi alam semesta. Jadi, walau suasana perayaan Isra’ Mi’raj di bumi nusantara tahun ini penuh nestapa, namun taburan semai nilai kemanusiaan tidak boleh luntur dari nurani umatnya. Dan, jika pelaku terom bom itu kebetulan muslim, itu jelas bukan salah Islam. Wallahu’alam.
*Peneliti Ta’dib Community Forum, Malaysia. Mahasiswa Program Doktor, National University of Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar