translate

Rabu, 22 Juni 2011

Para Pemikir Yang Diulamakan

Pada masa-masa terakhir ini kaum harakiyun hizbiyun (para penganut paham hizbiyah), berusaha menampilkan tokoh-tokoh idola mereka sebagai ulama. Dan ini masih sebagai gerakan talbis (pengkaburan) yang terus mereka lancarkan di kalangan kaum Muslimin untuk menghalangi mereka dalam memahami Islam yang benar. Dari sisi ini tidak salah kalau mereka dihukumi sebagai ahlul bid'ah walau hukum ini tidak bisa diterapkan pada semua individu yang terlibat dalam gerakan tersebut. Para tokoh harakiyun hizbiyun yang digelari ulama oleh mereka itu sesungguhnya bukanlah ulama, tetapi hanya terbatas sebagai para pemikir atau dengan istilah lain sebagai ahlur ra'yi. SIAPAKAH ULAMA Untuk mengetahui lebih lanjut sejauh mana bahaya talbis yang dilancarkan oleh mereka, kita perlu mengerti definisi ulama dan ahlur ra'yi dan kedudukannya masing-masing di dalam agama ini. Sedangkan untuk mengerti dengan pasti dan jelas permasalahan ini, kita merujuk kepada Al Qur'an dan Al Hadits dengan keterangan para ulama Salafus Shalih dan Ahlul Hadits.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan tentang siapa yang dinamakan ulama, antara lain dalam firman-Nya : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (Fathir : 28) Al Imam Ath Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan keterangan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu tentang ayat ini. Beliau mengatakan bahwa pengertian ulama dalam ayat ini ialah : `Orang-orang yang mengetahui dengan ilmu, bahwasannya Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.' (Tafsir Ath Thabari jilid 10 hal. 409) Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurthubi memperjelas penafsiran Ibnu Abbas tersebut di atas dengan menyatakan : `… siapa yang telah tahu dengan yakin bahwa Allah `Azza wa Jalla Maha Berkuasa, niscaya dia yakin bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghukum hamba-Nya yang berbuat maksiat.' Kemudian beliau membawakan beberapa penafsiran para tabi'in tentang definisi ulama yang disebut dalam ayat ini. Beliau mengatakan : Berkata Ar Rabi' bin Anas : "Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah, maka dia bukanlah orang yang berilmu (ulama)." Berkata Mujahid (beliau ini murid Ibnu Abbas) : "Sesungguhnya yang dikatakan orang yang berilmu (yakni ulama) hanyalah orang yang takut kepada Allah `Azza wa Jalla." "Sesungguhnya yang dikatakan orang yang `mengerti' hanyalah yang takut kepada Allah." Pernah ditanyakan kepada Sa'ad bin Ibrahim : "Siapakah yang paling mengerti tentang agama di kota Madinah?" Dijawab oleh beliau : "Yaitu yang paling bertakwa kepada Tuhan-nya `Azza wa Jalla." (Tafsir Al Qurthubi jilid 6 hal. 5425) Al Hafidh Ibnu Katsir menambahkan : "Dan diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud –-semoga Allah meridhainya--, bahwasannya beliau menerangkan : "Tidaklah yang dikatakan ilmu itu dari banyaknya hadits (yang diriwayatkan), akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah dari banyaknya rasa takut kepada Allah." Kemudian Ibnu Katsir membawakan keterangan Sufyan Ats Tsauri dari Abi Hayyan At Tamimi bahwa yang dikatakan ulama itu tiga golongan : 1. Ulama yang berilmu tentang Allah dan tentang agama Allah. 2. Ulama yang berilmu tentang Allah tetapi kurang mengerti agama-Nya. 3. Ulama yang berilmu tentang agama Allah, tetapi tidak berilmu tentang Allah. Maka orang yang berilmu tentang Allah dan agama-Nya ialah orang yang takut kepada Allah, mengerti halal dan haram serta memahami apa yang diwajibkan oleh Allah. Sedangkan yang berilmu tentang Allah tetapi kurang mengerti agama-Nya adalah yang mempunyai rasa takut kepada Allah tetapi kurang mengerti syariat-Nya. Adapun yang mengerti agama Allah tetapi tidak berilmu tentang Allah ialah yang mengerti ilmu syariah tetapi tidak mempunyai rasa takut kepada Allah `Azza wa Jalla. (Tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal. 554) Perkataan Abu Hayyan At Tamimi ini diriwayatkan juga dengan sanad yang lengkap dan shahih oleh Ibnu Abdil Bar dalam Kitab Jami' Bayanul Ilmi wa Fadlihi, jilid 2 hal. 48. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tafsir ayat di atas sebagai berikut : "Ayat ini menunjukkan bahwa tidaklah takut kepada Allah kecuali orang yang berilmu. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan bahwa semua yang mempunyai rasa takut kepada Allah itu adalah orang yang berilmu, hal ini sebagaimana firman-Nya : "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut dengan (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan-Nya? Katakanlah : Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?" (Az Zumar : 9) Al Khasyyah (rasa takut) selamanya selalu mengandung raja' (harapan), sebab kalau khasyyah tidak mengandung raja', niscaya hanya akan melahirkan keputusasaan. Dan Ar Raja' harus mengandung Al Khasyyah, sebab kalau tidak demikian akan menimbulkan perasaan aman dari ancaman adzab Allah (ketika berbuat maksiat, pent.). Oleh sebab itu, orang yang mempunyai rasa takut dan harapan kepada Allah, mereka inilah sesungguhnya ulama yang dipuji Allah." (Majmu' Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jilid 7 hal. 21) Inilah pengertian `ulama' sebagaimana diterangkan oleh para shahabat dan tabi'in serta para ulama ahli hadits ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di surat Fathir 28. Kemudian kita lengkapi definisi ulama di atas dengan menengok sebuah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : "Akan terus menerus membawa ilmu ini disetiap generasi orang-orang terpecaya pada generasi itu, mereka (pembawa ilmu agama ini) akan membantah penyimpangan orang-orang yang melampaui batas dan kedustaan orang-orang yang mengikuti kebathilan dan penafsiran orang-orang bodoh." (HR. Ibnu Adi dalam Kitab Al Kamil jilid 1 hal. 145-148. Dan diriwayatkan pula oleh para Imam yang lainnya seperti Baihaqi dan lain-lain) Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitab beliau Miftah Darus Sa'adah (Jilid 1 hal. 497-500) membawakan dengan lengkap berbagai riwayat sanad hadits tersebut dan penilaian beberapa imam ahlul hadits tentang keshahihan hadits ini dan kehasanannya. Imam Ahmad bin Hambal menshahihkan hadits ini, juga Al Hafidh Al Ala'iy dalam Kitab Bughyatul Multamas menshahihkan sebagian sanad-sanad hadits ini. Syaikh Al Albani cenderung menshahihkan hadits ini dalam Misykatul Mashabih jilid 1 hal. 82-83. Dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid cenderung menghasankan hadits ini dalam catatan kaki Kitab Miftah Darus Sa'adah jilid 1 hal. 500. Adapun pengertian hadits ini ialah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama ahlul hadits sebagai berikut : 1. Al Hafidh Ibnu Abdil Bar menerangkan : "Setiap orang yang membawa ilmu ini (yakni ilmu Al Kitab dan As Sunnah) dan dikenal mempunyai perhatian terhadap ilmu ini, maka dia itu orang yang terpecaya dan senantiasa dianggap terpecaya sampai terbukti secara ilmiah ada cercaaan terhadapnya, barulah gugur kedudukannya sebagai orang yang terpecaya. Demikian pengertian sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut." (Muqaddimah Ibnus Shalah fi Ulumil Hadits, Al Imam Abu Amr Utsman Asy Syahrazuri Ibnu As Shalah, hal. 50) 2. Ibnu Qayim menerangkan : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memberitahukan bahwa ilmu yang beliau ajarkan akan terus dibawa oleh orang-orang terpecaya dari umatnya pada setiap generasi sehingga ilmu ini tidak hilang dan sirna. Ini menunjukkan kepercayaan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada pembawa ilmu tersebut. Maka orang yang membawa ilmu ini, tidak boleh tidak, mesti orang yang terpecaya. Karena itu, telah dikenal di kalangan umat Islam bahwa orang-orang terpecaya yang menyampaikan ilmu ini memiliki kredibilitas dan popularitas yang dapat menepis segala kebimbangan dan keraguan terhadap kejujuran mereka. Maka tidak diragukan lagi, siapa yang telah dipercaya oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, tidak dapat diterima cercaan yang ditujukan kepadanya. Maka para Imam yang terkenal dalam bidang ilmu Nabawi warisan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di kalangan umat ini, semuanya adalah orang-orang terpecaya. Oleh karena itu, tidak bisa diterima kritikan sebagian mereka atas sebagian yang lainnya. Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang terkenal sebagai orang tercela di kalangan umat ini (yakni kalangan ulamanya, pent.) seperti imam-imam ahli bid'ah dan orang-orang yang menempuh jalan mereka. Mereka bukanlah pembawa ilmu (yakni bukan ulama, pent.) bagi umat ini. Dengan demikian, orang-orang yang membawa ilmu warisan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mesti dikenal sebagai orang yang terpecaya agamanya. Akan tetapi sering pengertian orang yang terpecaya dalam agamanya ini disalahartikan, seolah-olah sebagai orang-orang yang tidak mempunyai dosa sama sekali (ma'sum). Padahal tidaklah demikian. Pengertiannya ialah : Mereka ini adalah orang-orang yang terpecaya dalam menyampaikan agama, walaupun padanya ada kesalahan-kesalahan yang dia selalu bertaubat kepada Allah. Kesalahan-kesalahan ini tidak menggugurkan sifatnya sebagai orang terpecaya dalam menyampaikan agama, sebagaimana tidak gugur keimanaan dan kewalian seseorang dengan kesalahan-kesalahan semacam itu." (Miftah Darus Sa'adah jilid 1 hal. 495-496) 3. Al Imam As Suyuthi menerangkan : "Makna hadits ini ialah bahwa ilmu ini diambil dari orang yang terpecaya dalam agamanya pada setiap generasi, maka hadits ini memerintahkan kita untuk mengambil ilmu ini dari orang-orang yang terpecaya agamanya dan terkenal pula ketepatannya dalam penyampaian." (Tadribur Rawi. As Suyuthi. Juz 1 hal. 304) Demikian keterangan para ulama ahlul hadits tentang pengertian hadits tersebut. Keterangan yang satu dengan keterangan lainnya saling melengkapi. Maka orang yang terpecaya dalam agamanya adalah orang yang selamat dari tuduhan kesesatan atau orang yang telah dipercaya oleh para ulama dalam penyampaian ilmu agama dan tidak pernah tertuduh berkhianat dalam penyampaiannya. Bila kita simpulkan dari berbagai keterangan para ulama dalam menafsirkan surat Fathir 28 dan hadits tersebut di atas, maka definisi ulama itu adalah : "Orang-orang yang telah mengenal Allah dengan ilmu syariat-Nya, sehingga dengan pengenalan dan ilmunya ini, ia menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan paling menggantungkan harapannya kepada-Nya semata. Mereka adalah orang-orang yang terpecaya –-dalam penyampaian agama-- dan jauh dari kemungkinan penyimpangan dan pengkhianatan terhadap pemahaman yang benar. Mereka adalah orang-orang yang menumpahkan segenap perhatiannya terhadap ilmu Al Qur'an dan Al Hadits dan menjaganya dengan sebaik-baiknya sehingga ilmu ini tetap terpelihara dengan sempurna dari generasi ke generasi sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka telah mendapat kepercayaan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan kemudian para shahabatnya dan kemudian para ulama ahlul hadits dalam perkara ilmu agama ini." Maka dengan definisi ini, kita yakin bahwa yang dinamakan ulama itu hanyalah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tidak dinamakan ulama bila dari kalangan ahlul bid'ah. Oleh karena itu, Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menegaskan : "Tidak diragukan lagi bahwa para ahli periwayatan hadits dan atsar (mereka yang mengikuti perikehidupan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya), mereka adalah Ahlus Sunnah. Karena mereka berjalan di atas jalan yang tidak terjadi bid'ah padanya, karena bid'ah itu muncul setelah jamannya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya." (Talbis Iblis hal. 16) SIAPAKAH PEMIKIR ITU ? Adapun pemikir atau yang diistilahkan dengan ahlur ra'yi ialah sebagaimana diterangkan oleh Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Qutaibah (wafat 376 H) rahimahullah : "Setelah aku mempelajari berbagai pendapat ahlul kalam (yakni para pakar ilmu kalam)<1>, ternyata aku dapati mereka berbicara tentang Allah dengan apa yang mereka tidak tahu, dan menimpakan fitnah kepada kaum Muslimin yaitu dengan fitnah penggolongan yang mereka buat (yakni penggolongan bid'ah, pent.). Mereka dapat melihat sedikit kotoran di mata kaum Muslimin, padahal di depan mata mereka (ada kotoran sebesar) pelepah pohon kurma. Mereka terus menerus mempunyai sangkaan buruk pada orang yang meriwayatkan hadits<2>. Tetapi mereka tidak pernah mempunyai kecurigaan terhadap pikiran mereka dalam perkara ta'wil<3>." (Ta'wil Mukhtalafil Hadits. Halaman 20) Berbicara tentang agama Allah dengan apa yang mereka tidak tahu, maksudnya berbicara tentang agama tanpa menengok Al Qur'an dan Al Hadits. Mereka berbicara dari pikirannya semata, kemudian pikiran itu diyakini kebenarannya. Selanjutnya mereka mencari pembenaran terhadap pikiran tersebut dengan dalil dari Al Qur'an dan Al Hadits untuk dipaksakan dan ditafsirkan sesuai dengan pikirannya. Bahkan menolak keduanya jika bertentangan dengan pikirannya. Mereka menimpakan fitnah atas kaum Muslimin dengan menggolong-golongkan mereka dengan penggolongan bid'ah, seperti yang terjadi sekarang ini. Mereka memilah orang-orang yang mempelajari Islam dalam dua golongan, yaitu tekstual dan kontekstual. Golongan tekstual ialah mereka yang hanya terpaku dengan teks-teks (nash-nash) Al Qur'an dan Al Hadits serta perkataan ulama terdahulu. Mereka ini dianggap berpikir mandek (jumud) dan hanya membebek kepada pemahaman ulama terdahulu. Atau dengan istilah yang lebih tajam, orang masa lalu yang hidup di masa kini. Semuua ini sebagai ejekan terhadap Ahlul Hadits. Sedangkan golongan kontekstual adalah golongan yang memahami Islam dengan pemahaman kekinian dan merujuk kepada konteks kehidupan masa kini sehingga mereka menyuguhkan pemahaman yang penuh terobosan baru dan perspektif jauh ke depan. Semua ini adalah sanjungan bagi para pemikir atau para ahli kalam atau juga ahlir ra'yi. Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah menerangkan tiga model ra'yu (pikiran) dalam memahami Islam, agar dengan keterangan beliau ini kita dapat mengetahui di mana sesungguhnya letak para ulama dan di mana letak para pemikir dalam menggunakan ra'yu ketika memahami agama ini. Beliau menerangkan : "Yang dikatakan ra'yu itu ada tiga model, yaitu : 1. Ra'yu yang bathil dan tidak diragukan lagi kebathilannya. 2. Ra'yu yang benar. 3. Ra'yu yang ada kesamaran padanya (antara yang bathil dan yang benar, pent.) Tiga model ra'yu ini telah diisyaratkan Salafus Shalih. Mereka menggunakan ra'yu yang benar, beramal dengannya, dan berfatwa dengannya pula. Juga mereka cenderung berbicara tentang agama dengannya. Di samping itu, mereka mencela ra'yu yang bathil dan melarang untuk beramal, berfatwa serta memutuskan perkara dengannya. Bahkan mereka melontarkan cercaan terhadapnya dan terhadap orang-orang yang memakai ra'yu bathil ini. Adapun ra'yu yang ketiga, mereka cenderung beramal, berfatwa, dan memutuskan perkara dengannya ketika dalam keadaan terpaksa di saat sudah tidak ada jalan lain kecuali itu. Walaupun demikian, mereka tidak mengharuskan seorang pun beramal dengan ra'yu-nya ini dan tidak melarang orang lain menyelisihinya. Orang lain yang menyelisihi dalam perkara ra'yu model ketiga ini tidak dianggap sebagai orang yang menyelisihi agama. Bahkan dalam menilai pendapat mereka pada ra'yu model ini, penilaian tertinggi adalah dengan mempersilahkan umat memilih antara menerima atau menolaknya. Maka ra'yu model ini kedudukannya adalah sebagaimana makanan dan minuman yang diharamkan (boleh dimakan atau diminum dalam keadaan darurat). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad : "Aku bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas<4>. Maka beliau mengatakan kepadaku : `Boleh dipakai bila dalam keadaan darurat (yakni terpaksa dan tidak ada jalan lain, pent.).' ". Demikian Ibnul Qayyim menerangkan. Kemudian beliau melengkapi penjelasannya dengan merinci jenis-jenis ra'yu yang bathil, yaitu : 1. Ra'yu yang menyelisihi dalil (Al Qur'an dan Al Hadits). Ini adalah perkara yang telah diketahui dengan pasti dalam agama Islam (tentang kerusakannya) dan kebathilannya. Maka tidak boleh seseorang berfatwa dengan ra'yu ini dan tidak boleh pula memutuskan suatu perkara dengannya. 2. Berbicara tentang agama dengan dugaan dan sangkaan disertai sikap melampaui batas atau mengentengkan dalam mengenali dan memahami dalil serta dalam istinbat (yakni mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil itu. Karena barang siapa tidak mengerti dalil dan mengambil qiyas dengan akalnya untuk menjawab (tanpa ilmu) pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka sungguh dia telah terjatuh pada ra'yu yang tercela dan bathil. 3. Ra'yu yang menyebabkan gugurnya keimanan kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta pebuatan-perbuatan-Nya, dengan qiyas yang bathil yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh ahli bid'ah yang sesat dari kalangan Jahmiyah<5>, Mu'tazilah<6>, Qadariyah<7> dan yang menyerupai mereka. Yaitu dengan mengutamakan ra'yu atas wahyu (yakni Al Qur'an dan Al Hadits) dan mengutamakan hawa nafsu daripada akal sehat. 4. Ra'yu yang menjadi akar berkembangnya berbagai bid'ah, dirubahnya berbagai sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, penyebab meratanya malapetaka, dan menjadi dasar pembinaan/pendidikan anak-anak kecil hingga mereka dewasa (yakni pikiran bathil yang diwarisi turun temurun dari nenek moyang, pent.) 5. Berbicara tentang hukum-hukum agama dengan istihsan (anggapan baik, pent.) dan sangkaan dan menyibukkan diri dengan perkara yang memberatkan dan kabur serta mencocokkan perkara cabang dengan perkara cabang yang lainnya melalui qiyas tanpa menunjukkannya pada perkara pokok dan tanpa meneliti sebab hukumnya serta acuannya. Akibatnya digunakanlah pikiran sebelum turunnya wahyu (ini dijaman hidupnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, pent.), atau berbicara bertele-tele tentang hukum satu masalah yang belum terjadi. Sehingga pembicaraan tentangnya dengan ra'yu yang dibangun atas dasar dhan (sangkaan). Para ulama Salaf mengatakan : "Menyibukkan diri dengan perkara yang demikian dan mendalaminya adalah berarti menelantarkan ilmu dan pengamalan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan menimbulkan kebodohan tentang sunnah tersebut, serta tidak lagi menahan diri untuk berbicara atau berbuat dalam perkara yang Al Qur'an dan Al Hadits mengharuskan kita menahan diri padanya." Empat macam ra'yu pertama di atas telah disepakati oleh Salafus Shalih dan para imam untuk mencelanya dan mengeluarkannya dari agama. Sedangkan ra'yu yang kelima masih diperbincangkan oleh ulama. Demikian saya ringkaskan dari keterangan Ibnul Qayyim tentang jenis-jenis ra'yu dari kitab beliau I'lamul Muwaqi'in jilid 1 hal. 67-69. Dengan penjelasan tersebut di atas kita dapat mengerti bahwa para pemikir (ahlur ra'yi) itu adalah mereka yang memahami agama ini dengan salah satu dari lima macam ra'yu yang bathil tersebut. Kemudian agar para pembaca tidak salah paham, seolah-olah Salafus Shalih mengharamkan ra'yu secara keseluruhan, maka saya sertakan pula keterangan Ibnul Qayyim dari kitab yang sama hal. 79-85, sebagai berikut : Ra'yu yang terpuji itu (yakni yang benar, pent.) ada beberapa macam : 1. Ra'yu para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang kedudukan mereka demikian mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Imam Syafi'i rahimahullah menerangkan dalam risalah Bagdadi-nya yang diriwayatkan oleh Al Hasan bin Muhammad Az Za'farani : "Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam Al Qur'an, Taurat, dan Injil. Dan telah disebutkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam keutamaan mereka yang tidak diberikan kepada siapapun sesudah mereka. Semoga rahmat Allah tercurah atas mereka dan selamatlah atas mereka dengan anugerah keutamaan yang mengantarkan mereka kepada kedudukan pada shiddiqin<8>, syuhada<9>, dan shalihin<10>. Mereka telah menyampaikan kepada kita sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mereka telah menyaksikan wahyu turun kepada beliau, sehingga mereka mengerti apa yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam perkara umum, khusus, perintah wajib, atau anjuran yang bersifat bimbingan, dan mereka memahami sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, baik yang kita pahami maupun yang tidak kita pahami. Sehingga mereka jauh di atas kita di dalam ilmu, ijtihad, wara'<11> akal, dan hal-hal yang dapat dikenali dengan ilmu dan istinbath dengannya. Pikiran (ra'yu) mereka lebih terpuji dan lebih utama dibanding pikiran kita. Dan orang-orang yang kami kenal (dari keterangan para ulama), menceritakan kepada kami bahwa jika mereka (kaum Muslimin) tidak mendapatkan keterangan langsung dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, mereka merujuk kepada ra'yu shahabat (jika mereka telah bersepakat). Atau memilih sebagian ra'yu shahabat yang lebih dekat kepada dalil (al haq). Inilah pernyataan kami. Dan apabila pendapat salah seorang shahabat itu tidak diselisihi oleh yang lain, maka kami berpegang dengan pendapatnya." Demikian Imam Syafi'i menerangkan kedudukan para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Beliau juga menyatakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar Rabi' dari beliau : "Bid'ah adalah apa-apa yang menyelisihi Kitab (yakni Al Qur'an) atau Sunnah (yakni Al Hadits) atau atsar (riwayat perkataan atau perbuatan) dari sebagian shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam." Di dalam pernyataannya ini, Imam Syafi'i menghukumi segala yang menyelisihi pendapat shahabat adalah bid'ah. Yang dimaksud dalam uraian Imam Syafi'i ini adalah tidak mungkin bagi seseorang yang datang sesudah generasi shahabat disejajarkan dengan mereka<12>.Bagaimana mungkin disejajarkan dengan mereka, bila kenyataannya salah seorang dari mereka berpandangan dengan satu ra'yu kemudian turun Al Qur'an yang mencocoki ra'yu shahabi tersebut. Contohnya ialah ra'yu Umar bin Khattab tentang tawanan perang Badar. Dia berpandangan agar para tawanan itu dipenggal saja leher-leher mereka. Maka turunlah ayat Al Qur'an yang mencocoki ra'yu beliau ini. Juga Umar mengemukakan ra'yunya agar para istri Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berhijab. Kemudian turunlah ayat Al Qur'an yang mencocokinya. Maka sepantasnyalah kalau orang-orang yang setingkat ini ra'yunya dianggap lebih baik dari ra'yu kita. Bagaimana tidak, ra'yu mereka keluar dari hati yang penuh cahaya keimanan, hikmah, ilmu, pengenalan dan pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya, dan hati mereka penuh ketulusan kepada umat. Hati mereka sepenuhnya mencocoki hati Nabi mereka. Tidak ada perantara antara mereka dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian, dalam keadaan dari tangan pertama yang masih belum dikaburkan oleh kebid'ahan apapun. Maka mengqiyaskan ra'yu shahabat dengan ra'yu selain mereka adalah serusak-rusak qiyas. 2. Ra'yu para ulama ahlul hadits yang mengambil kesimpulan makna terhadap satu ayat Al Qur'an atau hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam karena telah meneliti banyak ayat dan hadits. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah bin Al Mubarak<13> : "Hendaklah kamu bersandar kepada atsar (yakni Al Qur'an dan Al Hadits, pent.) dalam menafsirkannya. Inilah pemahaman yang Allah khususkan bagi siapa yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya. 3. Ra'yu yang telah disepakati oleh ummat, yang diambil oleh khalaf (ulama belakangan) dari salaf (umat terdahulu generasi pertama yaitu para shahabat dan tabi'in). Karena ra'yu yang telah mereka sepakati pasti ra'yu yang benar, seperti apabila mereka telah sepakat tentang kebenaran suatu riwayat hadits atau suatu mimpi. Hal ini pernah terjadi pada peristiwa beberapa shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang bermimpi bahwa Lailatul Qadar terjadi malam 27 Ramadhan. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menanggapi mimpi itu dengan sabdanya : "Aku melihat mimpi kalian telah saling bersesuaian pada hari ketujuh akhir (yakni tanggal 27 Ramadhan, pent.)." Di sini beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menganggap mimpi para shahabat sebagai patokan kaum Mukminin<14>. Maka umat ini ma'sum (terjaga dari kesalahan) pada apa saja yang telah mereka sepakati, baik dalam perkara periwayatan maupun dalam perkara mimpi (juga dalam perkara ra'yu, pent.)<15>. Oleh karena itu, termasuk ra'yu yang benar dan tepat bila ia merupakan produk musyawarah di antara para ahlinya, dan tidak sebagai ra'yu yang ganjil. Dan sungguh Allah telah memuji kaum Mukminin bila urusan mereka itu dimusyawarahkan di kalangan mereka<16>. Al Humaidi telah meriwayatkan dari Sufyan dan dia meriwayatkan dari Asy Syaibani dan beliau dari Asy Sya'bi yang menceritakan bahwa Umar bin Al Khattab menulis surat kepada Asy Syuraih (ia seorang qadli, pent.) yang bunyinya : "Apabila muncul dihadapanmu suatu perkara yang harus engkau putuskan, maka telitilah hukumnya pada Kitabullah dan putuskanlah perkara itu dengannya. Tetapi bila tidak ada, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila juga tidak terdapat padanya, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh orang-orang shalih dan para imam-imam yang adil. Kalau tidak didapati juga, maka Anda boleh memilih (antara dua) : a. Bila Anda mau berijtihad dengan ra'yu Anda, silakan Anda berijtihad dengannya. b. Bila Anda mau bermusyawarah denganku, aku berpandangan bahwa yang demikian ini mesti menjadi kebaikan bagi Anda. Wassalam." 4. Ra'yu yang dihasilkan dari upaya mempelajari ilmu yang ada dalam Al Qur'an. Kalau tidak dapat, dicari dalam As Sunnah. Kalau tidak diperoleh, dicari pada apa yang telah diputuskan oleh para khalifah yang terbimbing (Khulafaur Rasyidin) atau salah satu dari mereka. Kalau tidak diperoleh, maka dicari pada apa yang diucapkan oleh salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila tidak didapati juga, maka diupayakan ijtihad dengan ra'yu dan meneliti agar ijtihad itu menjadi pendapat yang paling dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta keputusan para shahabat beliau. Maka inilah sesungguhnya ra'yu yang dipilih dan digunakan para shahabat. Mereka saling menyetujui dalam ra'yu yang demikian. Demikian Ibnul Qayyim menjelaskan. Empat model ra'yu inilah yang dipakai oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan para pemikir memakai lima model ra'yu yang jelek sebagaimana tersebut sebelumnya. Maka yang dikatakan pemikir atau ahlur ra'yu adalah mereka yang memahami agama dengan lima model ra'yu yang bathil. BEBERAPA SOSOK PEMIKIR YANG DIULAMAKAN Setelah kita mengerti definisi ulama dan ahlur ra'yu (pemikir) serta kedudukannya masing-masing dalam agama ini, kita bisa menyimpulkan bahwa talbis (pengkaburan) antara ulama dengan pemikir, berarti pula mengkaburkan siapa sesungguhnya yang membimbing umat kepada kebenaran agama ini. Sikap yang demikian, jelas merupakan pengkhianatan terhadap tanggung jawab membimbing umat kepada kebenaran agama ini. Bisa jadi pengkhianatan tersebut disengaja dan bisa jadi pula tidak disengaja karena sangat kuatnya upaya pengkaburan yang demikian itu. Maka untuk melengkapi keterangan tersebut di atas, saya bawakan bukti-bukti pengkaburan itu, yaitu beberapa tokoh pemikir terkenal yang sempat dianggap ulama dan memang diopinikan demikian di kalangan umat Islam. Saya terangkan di sini beberapa nama mereka sebagai peringatan bagi segenap pembaca khususnya dan umat Islam umumnya dari bahaya kesesatan para pemikir tersebut. Mereka ini ialah : 1. Jamaluddin Al Afghani, sosok pemikir yang sangat dielu-elukan sebagai tokoh pembebasan negeri-negeri Islam dari penjajahan Barat. Dia sangat populer di kalangan kaum Muslimin karena beberapa sebab : a. Dia banyak berkeliling di negeri-negeri pusat ilmu-ilmu dan ulama Islam, seperti Mesir, Persia, India Afghanistan, dan Turki. b. Dia menerbitkan majalah berbahasa Arab yang bernama Al Urwatul Wutsqa di Paris (Perancis) yang beredar di seluruh negeri-negeri Muslimin di dunia. c. Dia banyak berbicara masalah yang kiranya dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam dari berbagai aliran pemahaman. Dia menghindari berbicara masalah yang ada unsur pro dan kontra dalam perkara agama. d. Dia muncul atau dimunculkan disaat segenap ahlul bid'ah dari berbagai aliran, yang mereka ini adalah mayoritas umat Islam di dunia, merasa gelisah dan resah dengan munculnya dakwah Salafiyah di Negeri Nejed dan Hijaz yang dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan para pelanjutnya sehingga Al Afghani segera disambut oleh umat yang sedang resah karena merasa terancam keberadaannya dengan bangkitnya dakwah Salafiyah tersebut. Ia adalah tokoh alternatif yang mereka harapkan dapat menandingi popularitas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini kesimpulan dari berbagai literatur yang memuji dan menyanjung tokoh tersebut. Untuk itu saya bawakan di sini beberapa komentar para pengagumnya tentang sejarah hidupnya dan garis-garis perjuangannya. Para pengagum tersebut adalah orang-orang yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ini sekedar bukti bahwa Al Afghani sangat populer di kalangan Ahlul Bid'ah karena prinsip dan sikapnya yang ambivalen<17> itu. Prof. Dr. Harun Nasution, seorang Qadari<18> kader orientalis, menyatakan : "Jamaluddin Al Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang sempat tinggal dan aktifitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkannya di Mesir dan oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya kalau uraian mengenai pemikiran dan aktifitasnya dimasukkan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir. Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897." Harun Nasution menyimpulkan beberapa prinsip Al Afghani antara lain dari Al Urwatul Wutsqa sebagai berikut : "Paham Qadha dan Qadhar umpamanya, demikian Al Afghani, telah dirusak dan dirubah menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada keadaan statis. Qadha dan Qadhar sebenarnya mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu dari mata rantai sebab musabab itu." (Pembaharuan dalam Islam ; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Prof. Dr. Harun Nasution. Hal 51-57) Di sini Harun Nasution menyoroti sisi yang bersesuaian dengannya pada prinsip Al Afghani, yaitu pengingkarannya pada rukun iman yang keenam, yaitu keimanan kepada taqdir Allah. Dr. Jalaluddin Rahmat, seorang Rafidli<19>, yang sangat bersemangat memimpin `studi politis'<20> terhadap sejarah Islam khususnya para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan juga terhadap tokoh-tokoh Ahlul Hadits dan karyanya khususnya Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dia menyatakan : "Jamaluddim Al Afghani memang seperti burung rajawali. Suatu hari ia muncul di Mesir, sepuluh hari kemudian berada di Paris, dan minggu-minggu berikutnya berada di Ankara, Istambul, dan Kabul. Matanya yang tajam memandang para raja dengan pandangan yang menaklukkan. Suaranya yang berwibawa mengalirkan getaran listrik ke hati para pendengarnya. Lalu apa madzhab Jamaluddin? Mirza Luthfullah dari Iran menyebut Jamaluddin bermadzhab Syiah. Hamka menulis : `Barangklali hasil-hasil penyelidikan ilmiyyah akan memenangkan bahan-bahan yang dikemukakan dari Iran itu.' Syaikh Muhammad Abduh menyebut madzhab Hanafi sebagai madzhab gurunya. Ketika Jamaluddin sendiri ditanya apa madzhab yang dianutnya, Jamaluddin menjawab : `Aku adalah seorang Muslim.' " (Islam Aktual. Dr. Jalaluddin Rahmat. Hal. 38-39) Demikian kaum Rafidlah, juga mengelu-elukan Al Afghani dari sisi sikapnya yang mengambang dalam menegaskan pemahaman yang dianutnya pada agama ini. Dr. Nurcholis Majid, seorang Mu'tazili yang sangat gigih menyerukan umat kepada rasionalisasi agama<21> dan liberalisasi pemahaman<22> menegaskan : "Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam-lah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi. Sebetulnya keadaan yang memilukan itu tidak perlu terjadi kalau saja umat Islam, seperti diharapkan oleh para pembaharu pada peralihan abad yang lalu, khususnya Al Afghani dan Abduh, mampu menangkap kembali ajaran agamanya yang lebih dinamis, sekaligus lebih otentik." (Kaki Langit Peradaban Islam. Dr. Nurcholis Majid. Halaman 21-22 Demikian kaum Mu'tazilah mengkeramatkannya sesuai dengan kecenderungan yang mereka lihat pada Al Afghani terhadap pemahaman mereka. Maka untuk melengkapi wawasan kita tentang Al Afghani, saya bawakan di sini beberapa informasi akurat tentang pemikir tersebut, agar kita lebih adil dalam menilainya. Di antara para penulis tentang Al Afghani, antara lain ialah Musthafa Fauzi bin Abdul Lathif Ghazal yang membeberkan prinsip-prinsip dakwah Al Afghani sebagai berikut : a. Dakwah politik yaitu gerakan politik untuk memperjuangkan paham liberalisme dan demokratisme Barat di kalangan berbagai pemerintah Islam di negara-negara Islam. Demikian menurut persaksian para muridnya seperti Adib Ishaq, Dr. Utsman Amin, dan Dr. Mahmud Qasim. b. Seruan kepada westernisasi kehidupan dan pemahaman kaum Muslimin. Ini menurut persaksian para penggemarnya, seperti Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Al Mujaddidun fil Islam. c. Seruan kepada kebebasan (liberalisasi), yaitu kebebasan berfikir dan berakhlak dari ikatan agama. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh pengagumnya yaitu Dr. Muhammad Husein. d. Seruan persatuan tiga agama samawi, yaitu Islam, Nashara, dan Yahudi. Demikian diceritakan Dr. Ammarah dengan menambahkan bahwa persatuan di sini bukan hanya pengakuan hak masing-masing, tetapi juga persatuan asas imani. Bahkan juga Afghani menyerukan persatuan segenap agama di muka bumi. e. Seruan kepada gerakan nasionalisme dan mendukung berbagai gerakan nasionalisme di masing-masing negeri Islam. Demikian dinyatakan oleh Dr. Ammarah dan Dr. Taufiq At Thawil. f. Seruan kepada sosialisme sebagai alternatif model perjuangan memperbaiki nasib umat Islam. Demikian Dr. Ahmad Amin dan Dr. Adib Nashur. (Da'wah Jamaluddin Al Afghani fi Mizanil Islam. Musthafa Fauzi bin Abdul Lathief Ghazal halaman 228-269) Ini semua disertai dengan keterlibatannya yang langsung sebagai anggota organisasi zionisme Yahudi yang bernama freemasonry. Keanggotaannya dalam organisasi Yahudi ini telah diakui oleh segenap penulis yang mengagumi Al Afghani. Gerakan Al Afghani dengan berbagai pemikirannya terus diserukan sampai hari ini dan terus dijadikan pijakan pemahaman oleh para penganut pemikirannya. Ini adalah salah satu bukti kerusakan yang ditimbulkan oleh para pemikir tersebut. 2. Muhammad Abduh, dianggap orang kedua setelah Al Afghani dalam menyebarkan dan menumbuhkan kegandrungan dan keberanian berpikir bebas dari segala keterkaitan dalam memahami agama. Abduh sangat gigih menjadikan akal pikiran sebagai poros utama memahami agama. Kecintaan dan kekagumannya kepada Barat sangat mewarnai akal pikirannya. Dia berusaha menafsirkan agama dalam rangka pembenaran dan pengkultusan apa saja yang ada di Barat. Abduh adalah seorang Mu'tazili ekstrem yang sangat gigih memaksakan diri merasionalkan segala perkara ghaib dalam agama ini. Dan akhirnya terjatuh pada sikap penolakan terhadap perkara ghaib yang tidak bisa dirasionalkan. Muhammad Abduh menyatakan : "Telah sepakat umat Islam kecuali sedikit orang yang tidak terpandang, bahwasannya bila akal bertentangan dengan dalil naqli (yakni dalil Al Qur'an dan Al Hadits, pent.) maka yang diambil (yakni dipilih, pent.) ialah apa yang ditunjukkan oleh persepsi akal. Adapun terhadap dalil naqli tersebut disikapi dengan dua jalan. Yaitu mengakui keshahihan riwayatnya disertai pengakuan ketidakmampuan memahaminya, dan menyerahkan pengertiannya kepada Allah. Jalan kedua ialah mentakwilkan (menginterpretasikan) dalil naqli tersebut, dengan tetap memelihara kaidah bahasanya kepada makna yang sinkron dan diterima oleh akal." (Al Islam wan Nashraniyah. Muhammad Abduh halaman 560) Demikian proklamasi Abduh, bahwa Al Qur'an dan Al Hadits sebagai sumber pemahaman agama ini, harus ditundukkan kepada kemauan akal pikiran. Ini adalah prinsip Mu'tazilah tulen yang kemudian diterapkan sepenuhnya dalam memahami segenap berita ghaib dan hadlir<23> dari Al Qur'an dan Al Hadits. Yang demikian dapat kita buktikan lebih lanjut pada beberapa keterangan Abduh sebagai berikut ini. Dia menegaskan tentang pengingkarannya kepada wujudnya malaikat Allah sebagai makhluk yang mempunyai jasmani : "Maka dengan demikian, malaikat dan para setan adalah ruh-ruh yang berhubungan dengan segenap ruhnya manusia. Maka tidaklah benar bila dilambangkan malaikat dan setan itu sebagai sosok makhluk yang mempunyai jasmani yang kita kenal. Karena bila malaikat itu mempunyai jasmani, maka ia akan berhubungan dengan rohani kita melalui jasmani kita. Padahal kenyataannya kita tidak merasakan adanya sesuatu yang berhubungan dengan badan kita, apakah ketika adanya was-was (bisikan) setan atau ketika adanya seruan, baik dari malaikat pada jiwa kita. Maka berarti malaikat dan setan itu pasti berada di alam yang bukan alam jasmani. Dan wajib atas setiap Muslimin terhadap ayat yabng semisal ini untuk beriman kepada kandungannya, disertai dengan sikap menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah, atau mengartikan ayat semacam ini kepada makna bahwa ia hanyalah cerita kiasan, sedangkan yang dijadikan patokan ialah sesuai dengan hikmah-hikmah yang diambil dari kisah tersebut." Demikian Abduh menolak wujud makhluk ghaib malaikat dan jin dengan mengingkari : a. Wujud jasmani kedua makhluk ini. b. Mengartikan berita kedua makhluk ini di Al Qur'an sebagai arti dlahir. Jadi berita Al Qur'an tentang kedua makhluk ini harus diimani tetapi makna sesunguhnya dari cerita tersebut harus diserahkan kepada Allah karena tidak bisa dimengerti oleh akal. Atau dipahami saja cerita itu hanya sebagai cerita kiasan untuk kita mengambil hikmahnya. Selanjutnya Abduh menyatakan pengingkaran kepada wujud para malaikat yang diberi tugas tertentu oleh Allah dalam mengatur alam ini. Simaklah pernyataannya : "Maka segenap alam ini perwujudannya ditegakkan di atas aturan khusus yang sempurna dengan kesempurnaan hikmah Ilahi. Ia ditegakkan dengan ruh Ilahi yang dinamakan malaikat dalam bahasa syariat. Adapun orang yang tidak mempedulikan penamaan yang baku<24>, dia akan menamakan gejala-gejala ini dengan istilah kekuatan alami apabila tidak bisa diketahui pengaturan di alam ini, kecuali suatu kenyataan yang berjalan secara alami atau sebagai suatu kekuatan yang terlihat realitasnya di alam ini." Abduh dalam pernyataannya ini mempertegas keyakinannya bahwa alam berjalan dengan apa yang dinamakan ruh Ilahi atau dengan istilah lain `kekuatan alami'. Sedangkan menurut bahasa syariat dinamakan malaikat. Jadi ini adalah semata-mata nama dan bukan makhluk tertentu yang konkrit. Dalam pernyataannya ini dia menggelari orang-orang yang mengistilahkan pengaturan alam ini dengan `kekuatan alami' sebagai pihak-pihak yang tidak mempedulikan penamaan yang baku. Sedangkan kaum Mukminin meyakini bahwa Allah menugaskan para malaikat-Nya untuk mengatur alam ini dan meyakini bahwa para malaikat itu adalah makhluk Allah yang konkrit, diciptakan dari cahaya, punya sayap, dan kekuatan yang dahsyat. Abduh menyindir mereka dengan kata-kata yang sangat keji. Ia menuliskan demikian : "Seandainya ada seorang miskin<25> dari para penyembah lafadh-lafadh itu yang paling cerdas dan paling bagus ungkapan lisannya, berkeyakinan dengan apa yang dikatakan kepadanya bahwa malaikat itu ialah jasmani dari nur (cahaya) yang memungkinkan untuk membentuk dalam bentuk tertentu. Kemudian akalnya berusaha memahami makna jasmani yang tercipta dari cahaya, (akalnya akan bertanya) apakah cahaya itu mempunyai partikel yang bisa terjadi dengannya sosok pribadi yang istimewa tanpa adanya partikel lain yang sifatnya padat kemudian dengan itu terjadinya perputaran arus, seperti keadaannya sumbu lentera atau kabel listrik? Dan juga makna cahaya membentuk dalam bentuk tertentu itu apakah berarti memungkinkan bagi suatu bentuk tertentu berubah-ubah dalam berbagai bentuk sesuai yang diinginkan, bagaimana hal ini terjadi?" Demikian Abduh menentang kayakinan kaum Mukminin terhadap adanya makhluk Allah yang bernama malaikat yang mempunyai jasad diciptakan oleh Allah dari cahaya. Dia berusaha menampilkan keyakinan demikian ini sebagai perkara yang tidak bisa dimengerti oleh akal, sehingga dengan itulah dia menggelari kaum Mukminin yang mempunyai kepercayaan demikian sebagai orang-orang miskin penyembah lafadh. Atau dengan istilah populer di Indonesia ialah orang-orang jumud yang terpaku pada lafadh-lafadh dhahir semata. Masih banyak lagi kerancuan pemikiran Abduh akibat prinsipnya yang sangat mendewakan akal. Semua itu disuguhkan kepada kaum Muslimin dengan prinsip-prinsip materialisme Barat. Hal ini ditegaskan sendiri oleh muridnya yang paling senior dan pengagumnya, yaitu Rasyid Ridla. Dia menyatakan : "Aku katakan : Sesungguhnya tujuuan Al Ustadz (Muhammad Abduh) dengan interpretasi seperti ini (terhadap adanya malaikat dan jin) adalah untuk meyakinkan para pengingkar malaikat bahwa mereka itu ada. Tetapi dengan ungkapan yang kiranya bisa diterima oleh akal mereka." (Segenap uraian omongan Abduh dan kemudian Rasyid Ridla tentang malaikat dan jin ini saya nukilkan dari Tafsir Al Manar, Rasyid Ridla, jilid 1 halaman 267-271, Tafsir ayat 34 Surat Al Baqarah) Sekali lagi ini adalah bukti berikutnya bahaya pemikir yang mengancam keyakinan kaum Muslimin terhadap agamanya. Bahaya ini akan disadari bila kita melihatnya dengan pandangan Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. 3. Hasan Al Banna, adalah sosok pemikir berikutnya yang sangat populer sebagai pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Dia adalah imam mereka, bahkan menjulukinya sebagai mujtaddid. Pengaruh pemikirannya menjangkiti pemahaman banyak kaum Muslimin di dunia sehingga berbagai fitnah di kalangan kaum Muslimin meletus di mana-mana. Berbagai kesesatan yang ditinggalkan Hasan Al Banna ialah antara lain sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali dalam kitab beliau Al Irhab wa Atsaruhu `alal Afrad wal Umam halaman 103-104, sebagai berikut : a. Hasan Al Banna gandrung dengan akidah At Tafwidl<26> dalam perkara tauhid asma' wa shifat. Di samping juga adanya kecenderungan padanya untuk menganggap enteng perselisihan antara salaf dengan khalaf dalam perkara aqidah. (Lihat Al Aqaid Hasan Al Banna halaman 74) b. Dia sangat terpengaruh oleh sebagian thariqat-thariqat sufiyyah<27>. Ia memuliakan para penganut berbagai thariqat tersebut baik yang masih hidup ataupun yang telah mati. Dan ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Thariqat yang mempengaruhinya dan dia muliakan penganutnya adalah thariqat Hassafiyah dan thariqat Marghaniyah. (Lihat Kitab Qafilatul Ikhwan halaman 8 jilid 2) c. Dia ikut mengerjakan amalan-amalan ahlul bid'ah, yaitu merayakan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan juga acara-acara dzikir malam di hari-hari tertentu. Bahkan ikut mendendangkan kedustaan yang nyata serta dosa-dosa yang keji, seperti bait-bait syair : "Seluruh perasaannya condong kepada kumpulan ini. Tidak ragu bahwa kekasih kaum telah hadir." d. Al Banna pula yang menegaskan permusuhan kita kaum Muslimin dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. (Lihat Kitab Al Ikhwanul Muslimin Ahdatsun Shawa At Tarikh halaman 409) e. Dia menyerukan baiat kepada dirinya dengan mengesankan besarnya amalan baiat ini dan menjadikan baginya sepuluh rukun. (Lihat Risalatut Ta'alim Hasan Al Banna halaman 3 dan Al Madkhal li Da'watil Ikhwan, Said Hawa) f. Dia merusak manhaj dakwah Rabbani ini dengan membuka pintu bagi siapapun yang ingin bergabung dengan dakwah dan para da'i walaupun seorang Rafidli atau Shufi dan lain-lainnya. Inilah kerusakan-kerusakan yang telah ditinggalkan Hasan Al Banna (dan dipegangi oleh segenap orang-orang Ikhwanul Muslimin, pent.) yang sama sekali tidak diakui oleh syariat Islamiyyah sampai hari ini dan sampai hari kiamat." Demikian Syaikh Zaid Al Madkhali menerangkan dengan disertai bukti-bukti otentik dari tulisan-tulisan Hasan Al Banna sendiri. Dapat Anda lengkapi pula pengetahuan Anda tentang berbagai bid'ah Hasan Al Banna dengan apa yang telah saya tulis di Salafy edisi 2 tahun pertama halaman 15 dengan judul Fitnah Sururiyah Memecah Belah Umat. 4. Abul A'la Al Maududi, tokoh pemikir India dan sekitarnya yang hidup di Pakistan dan meninggal di sana. Dia adalah pendiri gerakan Jemaat Islami yang tersebar di Pakistan, India, Bangladesh, Srilangka. Dia banyak melansir pemikiran Mu'tazilah dalam perkara Aqidah, pemikiran Rafidlah dalam perkara shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan pemikiran liberalisme demokratisme dalam masalah politik. Abu Abdillah Jamaluddin Furaihan Al Haritsi dalam ta'liqatnya terhadap keterangan Syaikh Salih bin Fauzan Al Fauzan dalam Kitab Al Ajwibah Al Mufidah `an As'ilah Al Manahij Al Jadidah halaman 84 menukil omongan-omongan Al Maududi yang menunjukkan kecenderungan-kecenderungan pemikirannya. Al Maududi di dalam kitabnya Rasail wa Masail halaman 577 cetakan tahun 1351 Hijriah berkata : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dulu pernah menduga akan keluarnya Dajjal di masa beliau atau dekat dari masaa beliau. Akan tetapi telah berlalu masa dengan dugaan ini seribu tiga ratus lima puluh tahun berabad-abad yang panjang dan Dajjal belum keluar. Maka dengan demikian telah pasti bahwa yang diduga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak benar." Dalam kitabnya yang berjudul Arba'atu Musthalahat Al Qur'an Al Asasiyah halaman 157, Al Maududi mengatakan : "Sesungguhnya Allah yang Maha Suci telah memerintahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam surat An Nashr agar beliau meminta ampun kepada Tuhannya dari apa yang timbul daripadanya berbagai keterbatasan dan kekurangan dalam menunaikan tugas-tugas kenabian yang dibebankan kepadanya." Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi setelah menukil omongan ini mengatakan : "Kita berlindung kepada Allah dari tuduhan palsu seperti ini. Demikian i'tiqad Maududi tentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Tampak ia lebih berani mengatakan prinsipnya dari Muhammad Abduh. Adapun sikapnya terhadap para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dapat kita lihat antara lain dalam kitabnya yang berjudul Khilafah dan Kerajaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang Rafidli bernama Muhammad Baqir Al Habsyi dan diterbitkan oleh Mizan, Bandung, penerbit buku-buku Rafidlah. 5. Sayyid Quthb merupakan tokoh kedua dalam Ikhwanul Muslimin setelah Hasan Al Banna dan sangat berpengaruh di kalangan mayoritas pemuda harakiyin hizbiyin. Sayyid mempunyai beberapa keyakinan berbahaya yang dapat merusakkan keyakinan umat Islam terhadap agamanya. Ia menyatakan tentang Al Qur'an : "Al Qur'an adalah makhluk yang nyata sebagaimana bumi dan langit." (Fi Dzilalil Qur'an. Sayyid Quthb. Jilid 4 halaman 2328). Padahal anggapan bahwa Al Qur'an adalah makhluk merupakan keyakinan kufur dari kalangan Jahmiyah<28>. Juga Sayyid menyatakan tentang Allah Ta'ala : "Realitas (hakikat) yang ada adalah wujud yang satu, maka di alam ini tidak ada realitas kecuali realitas (hakikat) Allah. Dan di sana tidak ada wujud hakiki kecuali wujud-Nya. Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari perwujudan yang hakiki itu." (Fi Dzilalil Qur'an. Jilid 6 halaman 4002) Ini adalah keyakinan wihdatul wujud yang diyakini oleh tokoh-tokoh zindiq seperti Ibnu Arabi, Al Hallaj, dan lain-lainnya yang meyakini bahwa Allah telah menyatu dengan segenap makhluk sehingga wujud ini hanyalah perwujudan Allah. Masih banyak lagi kesesatan Sayyid Quthb yang amat membahayakan keyakinan umat Islam terhadap agamanya. Al Ustadz Muhammad As Sewed telah menulis masalah beberapa penyimpangan Sayyid Quthb ini dalam Salafy edisi 16, tahun kedua halaman 20 dengan judul Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid Quthb. 6. Muhammad Al Ghazali, pemikir yang cukup dikenal di kalangan anggota IM ini sangat mendukung rasionalisme dalam agama. Dia menyatakan : "Perlu diketahui bahwa segala sesuatu yang ditolak oleh akal (logika) mustahil diakui sebagai agama … . Agama yang benar adalah perikemanusiaan yang benar dan perikemanusiaan yang benar adalah akal yang sesuai dengan realitas (hakikat), disinari ilmu, menghancurkan khurafat, dan jauh dari kekaburan. Dan kami tegaskan bahwa seluruh keputusan (hukum) ataupun jalan yang tidak diterima oleh seorang yang lurus dan tidak didukung fitrah yang bersih mustahil dianggap agama … ." (Majalah Ad Daurah Al Qathariyah nomor 101. Rajab 1404 H. Al Aqlaniyun halaman 64) Di bagian lain ia mengatakan : "Tidak ada aqidah dalam agama kita ini dibangun di atas khabar ahad." (As Sunnah An Nabawiyah 66). Pendapat ini telah dibantah oleh para ulama (Lihat Majalah Salafy edisi VII rubrik Aqidah) 7. Yusuf Qardlawi, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) yang juga cukup kental rasionalismenya dalam memahami syariat Islam ini, walaupun lebih halus dibanding pendahulunya (M. Ghazali). Dr. Yusuf Qardlawi ini pernah menyatakan : "Termasuk tanda dangkalnya pemahaman seseorang dan lemahnya bashirah terhadap Dien adalah sibuk membahas masalah perkara juz'iyyah (cabang) dan meninggalkan persoalan-persoalan yang besar yang berkaitan dengan kondisi umat. Maka kita dapati mereka hanya membahas (hukum) memotong jenggot, isbal (memanjangkan pakaian), menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud atau (bagaimana) hukum fotografi (Lihat Dlaruratul Ihtimam bis Sunan halaman 24). Bahkan Qardlawi pernah menyatakan bahwa permusuhan antara Yahudi dan kaum Muslimin bukan dalam perkara aqidah (Lihat Jaridah Rayah Al Qathariyah 4696. Al Quthbiyah halaman 59) 8. Muhammad Surur bin Nayif Zainul Abidin, tokoh penting dalam tubuh IM yang kemudian karena tidak puas beralih mendalami pemahaman Salafus Shalih. Namun dalam sebagian pemikirannya masih terlihat pengaruh Khawarij, terutama dalam mensikapi para hukkam (pemerintahan). Di dalam kitabnya yang berjudul Minhajul Anbiya' fi Da'wah Ilallah juz 1 halaman 8, Muhammad Surur berkata : "Aku lihat di dalam kitab-kitab aqidah, maka aku dapati buku-buku itu ditulis bukan pada jaman kita, dan menempatkan pemutus perkara terhadap urusan-urusan dan musykilah-musykilah pada jaman ditulisnya buku tersebut. Dan untuk jaman kita, musykilah yang ada membutuhkan penyelesaian baru. Dari sini dipahami uslub kitab-kitab aqidah tersebut di dalamnya banyak (unsur-unsur yang) kaku berupa nash-nash dan hukum-hukum. Oleh karena itu sebagian besar pemuda barpaling darinya dan tidak membutuhkannya!!" (Al Ajwibah Al Mufidah halaman 45) Syaikh Ali Hasan mengomentari : "Allahu Akbar! Apakah di dalam nash-nash dan hukum-hukum itu ada (unsur) yang kaku? Apakah dalil Al Huda dan penjelasan-penjelasan yang meyakinkan itu, kaku?! Apakah kamu mau melihat semisal Kitab Syarah Ushulus Sunnah karya Al Lalikai ada (unsur) yang kaku? Apakah kamu dapati di dalam Kitab Asy Syariah karya Al Ajurri ada sejenis kekakuan yang memalingkan pemuda darinya? Apakah kamu melihat semisal Kitab Al Ibanah karya Ibnu Bathah dan At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah dan Rudud karya Utsman bin Said ada unsur kekakuan yang menjauhkan seseorang darinya? Na'am. Memang yang demikian itu ada benarnya. Tetapi bagi siapa? Bagi orang yang tidak paham aqidah kecuali sekedar sikap keras pada para thaghut, mengkafirkan pimpinan kaum Muslimin dan berpemahaman tauhid Hakimiyah dengan pemahaman perasaan." (Ru'yah Waqi'iyah halaman 57) Demikian tanggapan Syaikh Ali Hasan terhadap ucapan Muhammad Surur tersebut. Agar lebih jelas, silakan pembaca menyimak kembali tulisan saya tentang Muhammad Surur dan gerakannya tersebut pada Majalah Salafy edisi 2 tahun 1 rubrik Mabhats. 9. Hasan At Turabi. Seorang pemikir spiritual di negeri Sudan. Insya Allah akan kita ungkapkan berbagai pemikirannya yang menyelisihi As Sunnah dalam pembahasan khusus di majalah ini. PENUTUP Demikian keadaan para tokoh yang dijadikan ulama dan panutan di tengah umat dewasa ini. Dan itu semua hanya sebagian kecil dari corak pemikiran mereka yang sesungguhnya. Begitu pula tokoh-tokoh tersebut sesungguhnya masih banyak sekali. Allahu Ta'ala A'lam. MARAJI' : 1. Al Ajwibah Al Mufidah `an Asilatil Manahijil Jadidah. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Disunting oleh Abu Abdillah bin Furaihan Al Harits. Cetakan pertama. Penerbit Darus Salaf. Tahun 1416 H. 2. Al Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa'rifuha. Abu Ibrahin bin Sulthan Al Adnani. Cetakan kedua. Tahun 1416 H. 3. Al Aqlaniyun Afrahul Mu'tazilatil `Ashriyun. Syaikh Ali bin Hasan Abdul Hamid Al Halabi. Cetakan pertama. Penerbit Maktabatul Ghurabail Atsariyah. Tahun 1413 H. 4. Dharuratul Ihtimam bis Sunanin Nabawiyah. Syaikh Abdus Salam bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim. Cetakan pertama. Penerbit Darul Manar. Tahun 1414 H. 5. Ru'yatun Waqi'atun fil Manahid Da'wah. Cetakan pertama. Penerbit Darul Jalalaini. Tahun 1412 H. 6. Al Irhab wa Atsaruhu `alal Afradi wal Umam. Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali. Cetakan pertama. Penerbit Darus Sabilil Mukminin. Tahun 1418 H. 7. Tafsirul Manar. Sayyid Muhammad Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Cetakan kedua. Penerbit Darul Manar. Tahun 1366 H. 8. Majmu'atu Rasailil Imamis Syahid Hasan Al Banna. Penerbit Darusy Syihab. Tanpa tahun. 9. Wamaidlun min Warais Sadim. Fuad Al Mahmud. Cetakan pertama. Penerbit Maktabatul Manar. Tahun 1393 H. 10. Al Islam wan Nashraniyah ma'al Ilmi wal Madaniyah. Muhammad Abduh. Cetakan kelima. Penerbit Maktabah Isa Al Bari Al Halabi. Tahun 1357 H. 11. Al Aqaid Hasan Al Banna. Ta'liq dan tahqiq Ridlwan Muhammad Ridlwan. Tanpa tahun. 12. As Sunnah An Nabawiyah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlis Sunnah. Cetakan ketiga. Penerbit Darusy Syuruq. Tahun 1989 M. 13. Islam Aktual. Jalaluddin Rahmat. Cetakan ke-9. Penerbit Mizan. Tahun 1996 M. 14. Pembaharuan Dalam Islam. Prof. Dr. Harun Nasution. Cetakan kedua. Penerbit Bulan Bintang. Jakarta tahun 1996 M. 15. Kaki Langit Peradaban Islam. Dr. Nurcholis Majid. Cetakan pertama. Penerbit Paramadina. Jakarta tahun 1997 M. -------------------------------------------------------------------------------- <1> Ilmu kalam adalah termasuk ilmu yang pokok bagi kalangan pemikir. Karena itu mereka disamping dinamakan ahlur ra'yi, dinamakan juga ahlul kalam, pent. <2> Sangkaan buruk dan berbagai tuduhan kepada Ahlul Hadits ini sekarang sering dinamakan dengan studi kritis, pent. <3> Perkara ta'wil yang dimaksud di sini ialah penafsiran Al Qur'an dan Al Hadits dengan akal pikiran semata, pent. <4> Qiyas adalah salah satu metode pemahaman terhadap Al Qur'an dan Al Hadits dengan ra'yu. Tentang pengertiannya, silakan baca Salafy edisi 11 hal. 25. <5> Jahmiyah adalah aliran pemahaman Jahm bin Shafwan. Lihat Salafy edisi 1 hal. 12. <6> Mu'tazilah adalah aliran pemahaman yang sangat mengkeramatkan akal. Lihat Salafy edisi 1 hal. 12. <7> Qadariyah adalah aliran pemahaman pengingkaran terhadap taqdir. <8> Shiddiqin ialah mereka yang telah sempurna keimanan mereka terhadap risalah (ajaran) yang dibawa para Rasul Allah. Maka mereka ini telah mengerti kebenaran dan meyakininya dengan sepenuh keyakinan, serta menegakkannya dengan perkataan, perbuataan, keadaan dirinya, dan dakwah (menyeru manusia) dengan kebenaran itu ke jalan Allah. <9> Syuhada ialah orang-orang yang berperang di jalan Allah demi untuk menjunjung tinggi kemuliaan agama Allah dan terbunuh di atas niat yang demikian. <10> Shalihin ialah orang-orang yang baik dhahirnya (yang tampak darinya) dan bathinnya (yang tersembunyi padanya) sehingga menjadi baiklah amalan-amalan mereka. <11> Wara' ialah menahan diri dari apa-apa yang bermudlarat, yaitu segala perkara yang haram dan syubhat (yakni yang tersamar antara halal dan haram). Karena barangsiapa menjaga dirinya dari syubhat, sungguh dia telah menjaga kehormatan dirinya dan agamanya. <12> Sungguh tercela pemikiran menyamakan tindakan atau ra'yu shahabat dengan tindakan atau ra'yu para perusak agama yang menggugurkan sebagian ajaran agama ini dengan ra'yu-nya dengan alasan tajdid. Lihat Salafy edisi XX. <13> Beliau adalah ulama Ahlul Hadits dari kalangan Tabi'ut Tabi'in. <14> Juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menetapkan lafadz adzan dengan mimpi beberapa shahabat, pent. <15> Yang demikian itu karena sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : "Umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan." (pent.) <16> Sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Dan urusan mereka dimusyawarahkan di kalangan mereka." <17> Sikap mendua, pent. <18> Berpemahaman Qadariah yang mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan manusia. <19> Yakni penganut pemahaman Rafidlah yang diwarisi dari Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam kemudian menancapkan pemahaman sesatnya yang berporos pada kultus dan pemuliaan terhadap Ali bin Abi Thalib dan Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam serta segenap turunannya yang dinamakan Ahlul Bait. Kemudian mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, dan segenap shahabat yang berkaitan langsung kedudukannya sebagai sumber penyampaian Al Qur'an dan Al Hadits. <20> Studi politis ialah upaya mengesankan kepada umat Islam bahwa para shahabat Nabi dan segenap tokoh-tokoh Ahlul Hadits serta segenap karyanya adalah para tokoh politik yang berambisi politik atau menjalankan misi politik tertentu. Sehingga karya mereka pun dalam rangka misi para politikus tersebut, bukam misi menyampaiakan kebenaran. <21> Rasionalisasi agama adalah upaya untuk menundukkan agama di bawah pengkeramatan akal sehingga agama sepenuhnya tunduk kepada kemauan koreksi akal masa kini. <22> Libaralisasi agama adalah upaya untuk memberanikan kaum Muslimin memahami agamanya dengan bebas dari keharusan merujuk kepada shahabat Nabi dan tabi'in. Upaya ini disuguhkan dengan jargon `membuka pintu ijtihad' dan diramu dengan tantangan studi kritis dan menentang kejumudan. <23> Ghaib ialah segala perkara yang tidak bisa dipastikan keberadaannya oleh pancaindera, sedangkan hadlir ialah yang bisa dipastikan keberadaannya dengan pancaindera. <24> Penamaan yang baku ialah nama-nama yang Allah dan Rasul-Nya telah berikan terhadap makhluk-makhluk itu. <25> Ungkapan kata `seorng miskin' dalam bahasa Arab itu dengan konteks kalimat demikian bermakna orang yang pantas dikasihani. Yang demikian ini untuk merendahkan. <26> Aqidah At Tafwidl ialah keyakinan bahwa ayat-ayat Al Qur'an dan Al Hadits tentang Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah adalah yang tidak bisa dimengerti maknanya karena itu diserahkan saja maknanya kepada Allah Ta'ala. Ini adalah keyakinan bid'ah. <27> Thariqat sufiyyah ialah aliran-aliran yang ingin mensucikan jiwanya tetapi dengan amalan-amalan bid'ah yang disangka dapat mensucikan jiwa. Padahal semua bid'ah itu sesat dan semua yang sesat di neraka. <28> Masalah kekafiran pemahaman bahwa Al Qur'an makhluk telah saya uraikan dalam Salafy edisi 2 dan 3 tahun pertama dengan judul Al Qur'an adalah kalamullah, bukan makhluk
http://tkimia.21.forumer.com/

Tidak ada komentar:

Mengenai Saya

Watampone, sulawesi selatan, Indonesia
Belajar membuat blog, untuk keperluan positif dan tetap kritis

renunganku