translate

syifa

Pengobatan
(... ini baru sekilas info belum ada tambahan dari saya jika catatan kaki tidak berhubungan kami mohon maaf...karena ini baru awal)
Mungkin kita pernah membaca adanya suatu hadits shahih yang secara tekstual nampaknya bertentangan dengan hadits shahih lainnya, lalu para ulama ahli hadits mengajukan beberapa alternatif metode penyelesaiannya, sehingga teratasilah masalah yang tampak bertentangan tadi.
Masalah itulah yang disebut dalam kitab-kitab ilmu musthalah hadits dengan istilah “Mukhtalif Hadits”.
  • Imam Nawawi berkata: “Mengetahui “mukhtalif hadits dan hukumnya”. Ini merupakan bidang ilmu yang sangat penting, seluruh ulama dari semua golongan sangat perlu untuk mengetahuinya, yaitu adanya dua hadits yang tampaknya bertentangan kemudian digabungkan atau dikuatkan salah satunya. Hal ini dapat dilakukan secara sempurna oleh para ulama yang menguasai hadits dan fiqih serta ahli ushul yang mendalami makna hadits”. [1]
Apabila anda membuka kitab-kitab ilmu hadits pada pembahasan “Mukhtalif hadits” tersebut, niscaya anda akan mendapatkan para ulama selalu menjadikan hadits yang akan menjadi topik pembahasan ini sebagai contoh. Lebih daripada itu, banyak para ulama ahli hadits yang menulis buku khusus tentangnya, diantaranya adalah:
  • Jarullah bin Muhammad al-Makki asy-Syafi’I (954 H) menulis buku “Bulughul Muna wa Zhifar fi Bayani Laa Adwa wala Thiyarah wala Haamah wala Shafar”,
  • Ali Sulthan al-Qari (1014 H) menulis buku “Syarh Hadits Laa Adwa”,
  • asy-Syaukani (1250 H) menulis buku “Ithaf al-Maharah ala Hadits Laa Adwa walaa Thiyarah”,
  • Muhammad Thayyib al-Fasi (1227 H) menulis “Risalah fi Syarh Hadits laa Adawa walaa Thiyarah”, dan masih banyak lagi lainnya[2].
Di sisi lain ada sebagian kalangan di bidang kedokteran berbicara tentang suatu yang di luar bidangnya sehingga terkadang serampangan dalam berbicara. Aduhai, seandainya mereka mencukupkan diri untuk berbicara tentang bidang yang digelutinya dan menyerahkan urusan yang di luar bidangnya kepada ahlinya, tentu hal itu lebih baik bagi mereka.
  • Sungguh benar Syaikh al-Albani tatkala berkata: “Saya menasehatkan para pembaca budiman agar tidak percaya pada setiap artikel yang ditulis saat ini di majalah atau kitab   -terutama dalam bidang hadits- kecuali apabila ditulis oleh seorang yang terpercaya agamanya dan keahliannya di bidang tersebut, sebab penyakit  ghurur (bangga diri/merasa sok pintar) telah menjangkiti banyak penulis saat ini”.[3]
Sekarang kami mengajak para pembaca untuk mempelajari sebuah hadits yang dianggap kontradiksi dengan ilmu medis dan dengan hadits-hadits lainnya. Kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat.
A. TEKS DAN TAKHRIJNYA[4]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ النَِّبيُّ : لاَ عَدْوَى, وَلاَ طِيَرَةَ , وَأُحِبُّ الْفَأْلَ الصَّالِحَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: “Tidak ada penyakit menular dan thiyarah (merasa sial dengan burung dan sejenisnya), dan saya menyukai ucapan yang baik”.
(Muslim: 2223)
Hadits Abu Hurairah ini tidak diragukan lagi keabsahannya, diriwayatkan oleh para kawan dan murid beliau yang paling terpercaya dan kuat hafalannya, yaitu:
  1. Abu Salamah bin Abdur Rahman. (Bukhari 5717 dan Muslim 2220)
  2. Ibnu Sirin. (Muslim 2223)
  3. Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah. (Bukhari 5753 dan Muslim 2223)
  4. Harits bin Abu Dhubab. (Muslim 2221)
  5. Sinan bin Abu Sinan ad-Duali. (Bukhari 5775 dan Muslim 2220)
  6. Abu Shalih. (Bukhari 5757)
  7. Abdur Rahman bin Ya’qub. (Muslim 2220)
  8. Mudharib bin Hazn. (Ahmad 2/487 dan Ibnu Majah 3507)
  9. Ulai bin Rabah. (Ahmad 2/420)
  10. Abu Zur’ah bin Amr bin Jarir. (Al-Humaidi 1117)
Sebagian kalangan mementahkan riwayat ini, dengan alasan karena Abu Hurairah sendiri lupa setelah meriwayatkan hadits ini, sebagaimana dalam riwayat Bukhari 5437
Jawab: Alasan ini sangat lemah sekali ditinjau dari dua segi[5]:
Pertama: Lupanya Abu Hurairah tidak menunjukkan lemahnya hadits ini, karena telah dicatat oleh murid-muridnya yang terpercaya[6]. Masalah ini telah dijelaskan oleh para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab ilmu musthalah hadits dalam bahasan “Man Haddatsa wa Nasiya” (Rawi yang meriwayatkan kemudian dia lupa).
Alangkah mantapnya ucapan Imam Ibnu Hazm: “Abu Hurairah telah lupa hadits “Tidak ada penyakit menular (secara sendiri)”, Hasan pernah lupa hadits “Barangsiapa membunuh budaknya”, Abu Ma’bad maula Ibnu Abbas pernah lupa hadits “takbir usai shalat” setelah mereka meriwayatkannya. Lantas apa gerangan masalahnya??!! Tidak ada yang mementahkan hadits dengan alasan ini kecuali orang yang jahil atau pembela kebenaran dengan cara yang bathil (!). Kita tidak tahu: Di bagian Qur’an mana, atau dalam hadits apa, atau alasan logika apa yang mendorong mereka mencuatkan pendapat tersebut, yaitu bahwa seorang rawi yang menceritakan suatu hadits lalu dia lupa maka hadits tersebut dihukumi bathil??!! Sungguh, tidaklah mereka kecuali dalam prasangka yang dusta!!”.[7]
                                                                                                            dari abu ubaidah yusuf  as-sidawi

Mengenai Saya

Watampone, sulawesi selatan, Indonesia
Belajar membuat blog, untuk keperluan positif dan tetap kritis

renunganku